Skip to main content

Posts

Featured

Tenda Biru untuk Bapak

Selama sebelas tahun, bapak menjajakan sate ayam di gerobak pikul. Arang, pembakaran, puluhan tusuk sate, dan kipas rotan menjadi senjatanya berjuang setiap hari. Bapak hanya berani memberi harga setusuk sate ayam seribu lima ratus rupiah. Di masa kini, seribu lima ratus per tusuk sangatlah murah. Tidak sebanding dengan usahanya membawa pikulan hingga bergelut dengan kepulan asap pembakaran. Sering kali bapak cedera, lebam di pundaknya. Belum lagi pikulan yang beberapa kali rusak sebab terserempet pengemudi ugal-ugalan tempo hari.            Di sinilah, bapak, Arul, dan Arin berlindung. Ambu sudah dua tahun berpulang ke pangukuan Yang Maha Kuasa. Mereka tinggal di sebuah bilik sisi pinggir jalan. Biarpun cat tembok yang kusam terkesan kumuh, namun hanya ini harta mereka. Bapak adalah penghuni rumah generasi ke-3. Pagar besinya sudah rapuh dan karat. Pohon mangga di depan rumah cukup rimbun, menutupi wajah rumah itu. Sesekali, di akhir pekan bapak dan anak-anaknya merapikan pohon-po

Latest posts

Jelita

Beranjak dari Kecemasan

Ketika Dinding Bersuara

Berbagi Cahaya di Ruang Sepi

“Maaf”, kataku di depan cermin.

Sama

Ada

Suka

Takut

Menangis

Aku dan kegilaan