Berbagi Cahaya di Ruang Sepi
Akulah yang berkuasa di sini. Tempat ini menjadi
bersinar setelah aku hadir di sini. Bangunan ini akan gelap, sepi dan
menyeramkan jika aku tiada. Akulah si Neon, lampu panjang berwarna putih yang
setia menerangi setiap sudut pujasera. Orang-orang menyebut tempat ini adalah
pujasera. Pusat jajanan serba ada ini menjajakan tujuh kios makanan yang
disewakan. Tetapi hanya ada lima kios yang terisi. Setiap hari tempat ini
selalu ramai pembeli. Pengemudi ojek online pun tidak pernah absen datang
kemari sekadar istirahat.
Awalnya tempat ini hanyalah lahan
kosong di tepi sungai, tetapi pengurus rukun warga perumahan ini membangun
sebuah pusat jajanan yang disewakan. Tidak luas, tetapi cukup untuk tempat
gerobak penjual dan deretan meja-kursi pengunjung. Bangunan ini sengaja dibuat
terbuka, hanya ada pilar-pilar tembok yang membatasi area ini.
Aku tetap terjaga sepanjang malam
untuk menerangi pujasera hingga pagi menjelang. Satpam kompleks bertanggung
jawab atas tugasku ini. Jika satpam kompleks sudah menekan saklar lampu, aku
baru bisa beristirahat dan tidur sejenak sebelum bertugas di malam selanjutnya.
Saat matahari masih mengintip di kejauhan, langit masih berwarna biru gelap,
dan hawa dingin masih menyelimuti pinggiran kota Bogor ini, biasanya Pak Satpam
sudah datang mengistirahatkanku. Walaupun aku tidak sedang bertugas memberi
sorotan cahaya, tetapi aku masih bisa menyaksikan aktivitas pujasera di siang
hari.
Menjelang jam makan siang, para padagang mulai bersiap menjajakan jualannya. Teteh si penjual gado-gado dan Ibu Saodah si penjual ayam geprek biasanya buka kios lebih awal. Kadang sebelum jam sembilan pagi sudah mulai merapikan etalase kios. Pedagang aneka soto akhir ini jarang sekali berjualan, biasanya ia buka jam sepuluh pagi. Sementara Bang Umar si tukang bakso biasa datang pukul sebelas siang. Si abang es kelapa muda sih suka-suka hatinya kapan hendak mulai berjualan. Kedatangannya ke kios tidak menentu, tetapi saat jam makan siang tiba, dia selalu siap sedia menyajikan es kelapa muda yang segar.
Tepat jam makan siang, satu persatu pembeli datang. Sebangian besar pembeli membungkus jajanannya dan makan di rumah. Tetap ada saja yang masih makan di tempat. Meja dan kursi sangat terbatas, hanya tersedia untuk enam orang pengunjung saja. Terdapat dua meja panjang dan dua belas kursih plastik berwarna hijau. Botol saus sambal, botol kecap, tolples kerupuk, tusuk gigi, rak sendok-garpu, dan sebungkus tisu tersaji di atas meja panjang. Terdapat dua orang pengunjung yang makan bakso di meja satu.
Di atas sini, aku melihat bagaimana Bang Umar menyajikan semangkuk bakso untuk dua porsi bakso. Aku ingin mencicipinya, terlihat menggiurkan. Tidak hanya aroma kaldu kuah bakso yang menggoda, tetapi sambal ayam geprek yang menyegat, hingga es kelapa muda yang segar juga sangat menggugah selera. Apalah daya, sudah takdirku berada di atas sini, hanya bisa melihat semua kenikmatan itu. Sepanjang hidupku tidak akan pernah mencicipi lezatnya jajanan manusia.
Pujasera tidak seramai biasanya. Sebelum pandemi,
pujasera selalu ramai hingga semua kursi terisi pengunjung. Bahkan kadang orang
mengantri membeli makanan. Walaupun pembeli selalu ada, tetapi dagangan di sini
tidak selalau habis atau habis dalam waktu yang lebih lama. Para penjual sangat
bersabar menunggu pembeli.
Kini, pengemudi ojek yang mangkal di sini tidak sebanyak sebelum masa pandemi. Mungkin tidak banyak dari mereka yang melanjutkan profesi pengemudi ojek online. Hanya satu sampai tiga orang yang datang beristirahat sambil mengesap secangkir kopi. Mereka juga dengan sabar menanti orderan jasa ojek berikutnya. Kadang mereka sampai tertidur di pojok kanan pujasera, terlalu lama menanti pengunjung datang. Padahal di sini tidak ada kipas angin, hanya angin sepoi-sepoi yang ajaib, dapat menyihir para manusia menjadi mudah tertidur senyap.
Siang menjelang sore, para pengemudi ojek online beranjak dari sini. Berganti dengan hadirnya pedangang asongan yang mampir di depan pujasera. Kasihan mereka tampak lesu dan penuh peluh di dahinya. Aku semakin tak tega terutama si Kakek penjual mainan yang kadang istirahat hingga tertidur di ujung pujasera. Mungkin selama PSBB pemasukan si kakek dan pedagang asongan lainnya berkurang. Bagaimana pun juga semua orang bersuahan bertahan hidup di tengah pandemi yang entah kapan berakhir. Ingin rasanya membeli dagangan mereka, namun aku hanyalah sebuah lampu neon yang tidak memiliki harta.
Matahari mulai meredup, langit semakin gelap, dan
angin semakin bertiup kencang. Beginilah hidup di pinggiran kota Bogor, setiap
sore dirundung mendung. Pengunjung pujasera semakin surut, dagangan hampir
ludes. Terlihat bahan masakan di kaca etalase semakin berkurang. Sebelum
pandemi, biasanya sore hari jajanan di sini sudah ludes terjual. Sayangnya,
sore ini para pedagang belum beruntung. Mereka akan terjaga di kios
masing-masing sampai dagangan habis atau hingga datangnya malam memaksa mereka
menutup dagangan.
Terdengar suara geluduk dikejauhan. Hawa semakin
dingin. Si Mbak gado-gado dan si abang es kelapa sudah bersiap pulang. Tersisa
Ibu Saodah Ayam Geprek dan Bang Umar si tukang bakso masih setia menunggu
pembeli datang lagi. Rintik hujan perlahan terjun dari langit. Satu persatu
pengemudi ojek online menepi untuk berteduh. Beberapa pengguna sepeda motor pun
ikut berteduh. Pujasera cukup ramai oleh orang berteduh. Sebagian kecil di
antara mereka memesan kopi di kios Ibu Saodah, dua orang memesan semangkuk
bakso, dan sebagian lainnya hanya sekadar berteduh di pinggir pujasera. Tempat
duduk yang ada tidak cukup menampung semua pengunjung, karena mereka pun harus
jaga jarak. Beberapa orang berdiri di dekat pintu masuk pujasera.
Hujan semakin deras, angin berhembus semakin kencang.
Cipratan air hujan masuk ke dalam area pujasera. Kaki orang-orang yang berteduh
di pinggir pujasera semakin basah, diterpa hujan yang semakin derasnya. Bang
Umar berinisiatif menghidupkanku untuk menerangi pengunjung pujasera ini.
Semakin terlihat jelas lantai abu pujasera yang becek. Angin kencang menghadang
sore ini. Syukurlah kami masih bisa berlindung dari hujan besar ini. Aku pun
sangat senang bisa menemani mereka dan memberikan penerangan di tengah badai.
Angin dan hujan masih setia memeluk kabupaten Bogor.
Belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Volume air hujan sudah cukup berkurang.
Beberapa pengemudi sepeda motor ada yang memaksakan diri menerjang badai. Mau
tidak mau, pengunjung lain yang berteduh menunggu hingga hujan reda. Di situasi
pandemi ini, lebih banyak orang yang berusaha menjaga daya tahan tubuhnya agar
terhindar dari virus corona. Mereka memilih berteduh daripada memaksakan diri
menembus hujan deras dan tubuhnya menjadi rentan terpapar penyakit. Orang-orang
di pujasera juga tidak banyak yang memaikan ponselnya, terlalu berbahaya
menggunakan ponsel di tengah hujan petir seperti ini.
Hujan masih enggan untuk berhenti menangis. Suara
adzan Magrib terdengar dari masjid di sebrang. Dua orang pengemudi ojek online
memberanikan diri untuk beranjak dari pujasera. Hujan semakin mengecil,
pengunjung yang berteduh bergantian pergi dari sini. Kulihat dari atas sini,
Ibu Saodah si penjual ayam geprek sudah bersiap pulang. Beberapa bahan masakan
dikemas, dimasukkan ke dalam tas besar. Tak lama kemudian, anak laki-laki Ibu
Saodah datang menjemputnya pulang. Kini, pujasera hanya menyisakan Bang Umar si
tukang bakso, dua pengemudi ojek online di ujung pujasera, dan pedagang soto
yang menunggu dijemput suaminya.
Selepas kepergian pedagang soto dam seorang pengemudi
ojek online, pujasera tampak semakin sepi. Sepertinya orang-orang di sini tidak
butuh sembayang. Mereka tidak beranjak ke mana-mana. Sesekali Bang Umar
mengobrol dengan pengemudi ojek online itu. Terlihat jalanan semakin sepi,
mungkin lebih banyak orang yang enggan keluar rumah di tengah suasana dingin
seperti ini. Lagi pula, rintik hujan masih belum surut. Mereka berdua termenung
di bawah naungan pujasera yang kecil ini, ditemani rintik hujan, dan suara
kucing oranye di kolong meja yang sesekali mengeong.
Mencapai pukul delapan malam, hujan sudah mulai reda,
pengemudi ojek online memutuskan kembali ke rumah. Begitu pula dengan Bang
Umar. Mereka bersiap untuk beranjak. Seorang pengemudi ojek online pergi dari
pujasera lebih dulu. Setelah mengemas barang dagangan dan gerobaknya, Bang Umar
si penjual bakso mendorong gerobaknya keluar dari pujasera. Walaupun
dagangannya belum ludes terjual, tetapi keluarga di rumah menunggu kehadirannya
di rumah. Tersisa seekor kucing oranye yang naik ke atas meja makan.
Di pujasera hanya tersisa si kucing oranye, aku, dan
rintik kecil sisa-sisa air hujan dari atap yang terjun ke tanah. Hingga waktu
berlalu begitu cepat, malam semakin larut, tidak ada lagi pengunjung datang
kemari. Mungkin orang-orang tengah menghabiskan waktu bersama keluarga di
rumah, bergelung selimut di kamar masing-masing yang hangat, dan mengesap teh
hangat. Aku tidak memiliki siapa pun di hidup ini. Hanya ada pilar pujasera,
meja dan kursi di bawah sana, etalase kios-kios jajanan, laron yang kerap
mampir, kucing oranye yang selalu singgah, heningnya malam yang menemaniku.
Sudah tidak ada lagi orang-orang yang bermain gitar di
malam hari di sini. Tidak ada lagi permainan kartu di bawah sana, dan tidak ada
lagi sekelompok pemuda yang menghabiskan malam ke pagi di pujasera ini.
Malam-malamku terasa lebih hampa. Pandemi ini terus memeluk kesepian. Bagaimana
pun juga, aku akan tetap menerangi ruang sepi ini sepanjang malam.
Comments
Post a Comment