“Maaf”, kataku di depan cermin.
Memaafkan diri sendiri menjadi salah satu hal tersulit untuk dihadapi. Rasa-rasanya ingin menyerah pada dunia. Segala perasaan marah, malu kecewa, dan keresahan lainnya seringkali menghantui dan mengganggu. Butuh waktu cukup waktu dalam berproses melihat, menerima dan memaafkan diri sendiri atas suatu peristiwa. Hanya diri sendiri yang bisa merasa, maka diri sendiri yang mampu menyelesaikannya.
Pernah
rasaku ingin memaki, menjambak dan menghardik diri sendiri. Rasa bersalah dan
penyesalan selalu merasuki akal sehat hingga pikiran buruk dan perasaan yang
gelap perlahan menyiksa. Tapi apa yang terjadi? Semakin mengingat kejadian yang
ingin dilupa, justru ketakutan dan keresahan semakin terlihat nyata, hanya
terfokus pada pikiran negatif saja. Aku seringkali menghalau, menghindar,
menampik semua ingatan dan trauma yang ingin dilupa, bukan menerima dan
menuntaskannya pada saat itu juga hingga beban tersebut menggunung.
Segala
kejadian itu sudah terjadi, sekeras apapun menghalau emosi dan penyesalan itu,
tidak akan ada yang berubah. Kadang aku hanya sibuk menyalahkan diri sendiri,
menghukum diri sendiri, merasa tidak pantas, dan terus menjadi beban
berkepanjangan. Tentu saja itu semua menguras pikiran, perasaan hingga hilang
kewarasan. Rasa-rasanya hilang akal saking tidak bisa menanggung segala
perasaan marah, malu atau kecewa itu.
Bagaimana mengatasi itu? Setiap orang memiliki caranya tersendiri
dalam menyelesaikan masalahnya. Satu hal yang harus dilakukan adalah membangun
sugesti positif sebagai bentuk dukungan. Seberapa keras usaha mencari csra “How
to forgive ourself?”, tetapi kamu tidak benar-benar mengakui adanya
keresahan itu, kamu tidak akan menerima diri sendiri.
“Hai pikiran negatif. Jangan lagi kalian menghantui. Terima
kasih terlah hadir dan membuatku marah, malu dan terganggu. Mulai saat ini, aku
akan memperbaiki kesalahan itu. Terima kasih atas pengalaman berharga itu”.
Itulah yang aku tulis di dinding. Aku baca setiap bangun tidur. Membuka mata,
menghadap secarik kertas itu dan merapalkannya berulang kali. Lantas aku pergi
ke depan cermin dan berkata, “Terima kasih telah bertahan hingga saat ini.
Maaf, kemarin aku berlaku buruk, hari ini dan hari berikutnya aku akan lakukan
yang lebih baik.”
Suatu waktu, saat aku melakukan kesalahan, aku selalu berusaha
menampik semua keresahan itu, merasa ingin marah, menangis, malu atau perasaan
lain yang cukup mengganggu. ingatan mengenai hal yang mengganggu itu selalu
berputar sepanjang waktu, terus membuatku memikirkannya walau tak mau. Aku
hanya bisa berkata pada diriku, “Tidak apa untuk merasa tidak baik-baik saja.
Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Jangan terus menyalahkan diri sendiri.
Jangan menyerah atas hidupmu.”
“Aku tau aku salah. Aku tau, kemarin aku berbuat kurang pantas.
Maaf, aku belum melakukan sebagaimana seharusnya. Aku akan perbaiki dan
berusaha jadi lebih baik”, dengan berkata begitu berulang kali, aku bisa lebih
menerima bahwa aku melakukan kesalahan. Aku meluapkan segala keresahan yang
mengganggu itu. Aku menuntaskannya saat itu juga. Dengan begitu, akan lebih
mudah untuk menerima dan memaafkan diri sendiri atas sesuatu yang tidak
mengenakan hati.
Butuh proses panjang untuk menemukan cara menerima dan memaafkan
diri sendiri. Butuh merefleksi diri sendiri, bertanya pada diri sendiri, “Apa
yang membuatmu merasa resah sepanjang waktu?”, “Mengapa kamu tidak bisa
menerima semua itu?”, “Bagaimana kamu menuntaskan keresahan ini?”. Terkadang
aku juga masih terlalu takut untuk melihat realita atau terjebak pada ilusi dan
asumsi menakutkan yang tak nyata. Itulah yang harus dihadapi. Tidak apa memakan
waktu lama, biar segala keresahan iru memudar dengan sendirinya hingga berdamai
dengan diri sendiri.
Comments
Post a Comment