Tenda Biru untuk Bapak


Selama sebelas tahun, bapak menjajakan sate ayam di gerobak pikul. Arang, pembakaran, puluhan tusuk sate, dan kipas rotan menjadi senjatanya berjuang setiap hari. Bapak hanya berani memberi harga setusuk sate ayam seribu lima ratus rupiah. Di masa kini, seribu lima ratus per tusuk sangatlah murah. Tidak sebanding dengan usahanya membawa pikulan hingga bergelut dengan kepulan asap pembakaran. Sering kali bapak cedera, lebam di pundaknya. Belum lagi pikulan yang beberapa kali rusak sebab terserempet pengemudi ugal-ugalan tempo hari.

           Di sinilah, bapak, Arul, dan Arin berlindung. Ambu sudah dua tahun berpulang ke pangukuan Yang Maha Kuasa. Mereka tinggal di sebuah bilik sisi pinggir jalan. Biarpun cat tembok yang kusam terkesan kumuh, namun hanya ini harta mereka. Bapak adalah penghuni rumah generasi ke-3. Pagar besinya sudah rapuh dan karat. Pohon mangga di depan rumah cukup rimbun, menutupi wajah rumah itu. Sesekali, di akhir pekan bapak dan anak-anaknya merapikan pohon-pohon di depan rumah, mengindahkan tampak depan rumah.

      Senin sampai minggu, bapak memikul puluhan tusuk sate dari siang hingga malam. Dua tahun terakhir ini, bapak membesarkan tiga orang anak seorang diri. Berniaga menjadi bagian dari hidupnya. Selain sekolah, Arul dan Arin—anak pertama dan kedua bapak—andil dalam memotong ayam, menusuk daging ke tusuk sate, menghaluskan kacang tanah, menggiling sambal, hingga menyiapkan arang menjadi rutinitas setiap malam. Mana tega ketiga anak itu acuh tak acuh melihat bapak bertempur setiap hari. Mereka hanya memiliki bapak di dunia ini.

Sulit bagi ketiga anak bapak memenuhi tugas sebagai anak bapak dan pelajar. Saat ini, mereka tengah menjalani pendidikan sekolah menengah pertama di pinggiran ibu kota. Tidak seperti remaja umumnya, menikmati masa bersenang-senang bersama genknya dan fokus belajar. Arul dan Arin—sepasang anak kembar miskin ini perlu berjuang lebih keras menggapai asa. Kawan-kawannya tidak perlu tahu latar belakangnya, ketahui saja Arul dan Arin adalah siswa biasa saja yang masuk ranking sepuluh besar di kelas delapan.

Arin terlalu sibuk mengurus Ade yang menduduki kelas 3 sekolah dasar. Di umur belia, mau tidak mau menggantikan peran Ambu. Tanpa sepengatahuan Arin dan bapak, Arul pergi ke terminal untuk mengamen setiap pulang sekolah. Sering kali ada biaya tak terduga yang diminta sekolah, atau keperluan tertentu yang mendesak perlu uang. Setidaknya, Arul masih punya simpanan. Biarpun tidak banyak, ia sangat menghargai setiap receh yang diperoleh. Sejak menginjak sekolah menengah pertama, Arul memberanikan diri terjun ke jalan. Kadang, preman sok berkuasa meminta separuh penghasilannya. Perasan keringat menjadi recehan hilang begitu saja, dirampas si penguasa terminal. Apa boleh buat? Arul hanya bisa pasrah.

Di penghujung semester, semua pelajar menyiapkan ujian kenaikan kelas. Semua anak bapak mendadak rajin belajar. Arul tidak mengamen hari ini, siap-siap ujian besok. Arin dan si bungsu pun demikian. Berkah bagi hidup bapak, biarpun tidak bergelimang harta, tetapi Tuhan Maha Adil memberikan rezeki melalui anak-anaknya yang bertekad kuat ingin maju. Selapas pulang sekolah, mereka sudah ada di rumah. Namun, hingga lewat waktu Isya, bapak belum juga sampai. Arul waswas, takut terjadi sesuatu dengan bapak. Lantas, ia segera keluar pagar menyidik-nyidik, ke kanan dan ke kiri mencari sosok bapak yang tak kunjung datang. Arul memutuskan menunggu lagi di dalam rumah.

Hampir pukul sembilan malam, terdengar suara pagar terbuka. Semua anak bapak segera mendekat ke pintu rumah. Pikulan sate itu terlihat rusak di bagian ujung, baju Bapak lebih lusuh dan kotor di bagian belakang. Ada sesuatu terjadi pada bapak hari ini. Arul secepat kilat menurunkan pikulan dari pundak bapak. Tedengar jelas bapak meringis saat melepaskan pikulan itu.

“Ada apa, Pak? Kok tumben pulangnya lama? Kenapa kotor gini?” Arul kepada bapak, sedangkan mata Arin sudah berlinang, siap merintihkan air mata.

“Bapak abis jatoh, ya?” Ade bertanya dengan polosnya.

“Biasa, tadi ada yang gak hati-hati bawa mobilnya. Tapi bapak senang, dagangan hari ini laris manis. Kayaknya besok aku bisa beli martabak kesukaan Ade”

Yey! Asik.”

Bapak masih enggan bercerita perihal kejadian hari ini. Bisa-bisanya, bapak memikirkan permintaan Ade di tengah musibah yang menghadangnya. Hati Arul bergemuruh dan pilu melihat ketegaran bapak malam ini. Selepas itu, ia hanya mendekam di dalam kamar mandi untuk waktu yang lama, menahan isak tangis. Seketika, Arul ternginat sesuatu. Dia bergegas keluar kamar mandi, mengintip isi tabungannya.

“Aku gamau liat bapak gini lagi. Kan enak kalau bapak jualan di rumah. Punggungnya gausah lebam. Kaki bapak gak pegal keliling kompleks orang.” Arul berkata demikian di dalam hati.

Sejak saat itu, Arul mengamen dengan giat. Sesekali ia ikut menjual kembali makanan ringan produksi tetangganya untuk ditawarkan di sekolah. Walau tidak ramai pembeli, setidaknya bisa menambah tabungannya untuk membangun tenda sate bapak. Kini, mimpi dalam hidup Arul hanya ada satu, membangun angkringan sate ayam bapak. Sudah cukup ia kehilangan Ambu, ia tidak ingin kehilangan bapak. Bagaimana nasib Arul, Arin, dan Ade, kalau hidup tanpa bapak? Arul berniat dalam hati, ia akan mengusahakan apapun untuk membangun tempat berjualan sate di depan rumah. Syukurnya, mereka tinggal di sisi jalan yang cukup ramai. Arul memiliki sedikit harapan untuk membangun mimpinya.

Selama berbulan-bulan, Arul tidak pernah absen mengamen dari senin hingga minggu. Bertemu pengamen, dibakar sinar matahari, hingga diguyur hujan deras bukan masalah. Untungnya, bapak dan saudari-saudarinya tidak mengetahui bahwa ia bernyanyi di jalanan dengan alasan belajar kelompok di rumah teman. Lelah seringkali merasuki setiap nadinya, tetapi Arul tidak ingin menunda keinginannya tercapai. Arul sayang bapak, begitu pula Ade-Ade. Targetnya, bulan depan Arul sudah bisa beli terpal, tiang penyangga, dan bangku plastik. Dulu, almarhum Mbah Kung mewariskan meja panjang buatannya yang masih awet hingga saat ini, bisa dipakai untuk angkringan bapak nanti.

Sepuluh bulan telah berlalu, tabungan Arul telah mencukupi. Tenda dan perlengkapan lain sudah siap dibeli. Kali ini, Arul sangat menanti-nanti waktu bubar sekolah. Ingin cepat pergi ke pasar, survei harga hadiah untuk bapak. Sampai di pasar, tenyata uang arul belum terpenuhi. Perlu seminggu mengamen dan jualan snack di sekolah lagi untuk mencapai target. Dengan terpaksa, Arul bersabar lagi, lebih giat berusaha. Sayangnya, Arin mengetahui kebohongannya selama ini yang pergi mengamen. Namun, dengan alasan membantu bapak, Arin mencoba mengerti atas pilihan kembarannya itu.

Ternyata, Arin sempat menjual jasa gambarnya. Arin menyisihkan uang itu untuk menambahkan kekurangan biaya tenda. Tidak sampai seminggu, uang berhasil terkumpul. Semua tabungan Arul dan Arin diberikan untuk usaha bapak. Momen yang dinanti-nanti segera terjadi. Segala perlengkapan telah dibeli Arul di pasar dan bapak harus tahu informasi ini secepat mungkin.

Selepas bapak pulang dan Ade sudah tidur, Arul dan Arin menghampiri bapak di depan TV tabung.

“Pak, aku mau ngomong serius”

“Kenapa? Tumben. Nilai ulangan jelek ya?”

“Bukan, Pak. hmm...”

“Arul sama Arin sayang sama bapak. Aku gamau bapak sakit lagi bawa dagangan sate keliling kompleks orang. Aku gamau liat pikulan bapak ancur lagi. Aku gamau liat bapak makin lesu sambil ngurut kaki bapak sendiri. Aku gamau liat bapak lebam. Aku mau bantu bapak. Maaf ya, pak, kalau aku mereportkan bapak. Aku sayang bapak. Aku mau bapak jualan aja di depan rumah. Aku udah beli terpal, bangku plastik, dan alat makan lainnya. Gak banyak pak, tapi bisa bantu sedikit usaha bapak. Aku gamau kehilangan bapak. Aku belum siap kehilangan Ambu dua tahun yang lalu, Arul gak bisa bayakin hidup tanpa bapak juga.”

Arin tidak bisa berkata-kata hanya memeluk bapak sambil menangis. Lantas, bapak merangkul mereka dengan air mata yang berlinang. Bapak tidak bisa mengungkapkan apapun untuk kedua anaknya. Tuhan Maha Baik memberikan anugerah untuknya. Hadiah luar biasa dari-Nya. Biarpun ia masih merasa sedih atas kepergian istri tercinta, tetapi masih ada ketiga anaknya yang menemani setiap harinya.

Setelah malam itu, mereka merasa lega dan senang. Seluruh anggota keluarga tertidur di atas karpet di ruang TV. Rasa haru dan senang luar biasa belum bisa hilang dalam semalam. Mereka masih terbaring di tempat semalam hingga fajar mengikis malam. Sudah lama mereka tidak berkumpul dan mengungkapkan rasa sayang.

Cerah surya pagi ini mulai membakar semangat. Bapak setuju untuk berjualan di depan rumah. Cedera pundak bapak perlu pemulihan. Arul tak akan membiarkan bapak tetap membawa pikulan dalam waktu dekat ini. Seharian penuh, Arul dan bapak berkutat dengan terpal dan galah penyangga. Bukan ahli, tetapi antusias yang sangat tinggi mampu menghasilkan meteran terpal dan galah menjadi tenda angkringan sederhana. Pekan depan, bapak siap berjualan dengan gaya baru. Melihat hasil kerja kerasnya, Arul tersenyum bangga. Impian besarnya, meringankan beban bapak perlahan tercapai.

Di penghujung hari sebelum malam, Arul berniat membelikan sebungkus martabak telur di seberang rumah. Sementara itu, bapak menyiapkan pikulan di bawah tenda baru. Lalu, satu hantaman besar mengguncangkan telinga dan dada bapak. Seketika kepalanya menoleh ke arah suara ledakan itu berasal.  

           Bapak menyaksikan langsung sebuah sedan menabrak seorang pemuda lelaki terpental hingga ke depan pohon mangga. Jantungnya hampir copot. Mulutnya ternganga tidak percaya melihat baju pemuda itu sama persis dengan pakaian anak sulungnya. Bungkusan martabak berceceran di tepi jalan. Tangannya terkepal hingga urat di tangan mencuat begitu jelas. Tanpa permisi, air mata mengalis deras. Tidak ada isak tangis, hanya air mata turun. Kerumunan orang mendekati tempat kejadian, melihat Arul terbaring lemah di atas aspal bergelimang darah segar.

Bapak memberanikan diri melangkahkan kaki menuju pemuda malang itu. Mencelos hatinya, menatap sendu wajah Arul yang tenang tertidur di sisi jalan. Tangannya segera menangkup wajah anak sulungnya. Kepalanya terus mengeluarkan darah dengan deras. Bapak menangis dalam diam dan nyeri dalam hati. Arin melihat keramaian dari depan rumah. Di kejauhan telihat wajah kakaknya, sedan yang ringsek, dan darah menodai aspal. Dengan segera ia menuntun Ade pulang ke rumah, memastikan si bungsu tidak melihat kakaknya tergeletak tak berdaya. Tangan Arin gemetar, hanya bisa memeluk Ade di tengah isak tangis.

Nyawa Arul tidak tertolong. Pendarahan hebat membawanya pulang ke atas awan. Sebelum Arul berpulang menjemput Ambu, mimpinya tercapai, mendirikan tenda untuk bapak. Di bawah tepal biru, ramai orang berdatangan. Kursi-kursi plastik hadiah Arul tempo hari terisi penuh oleh tamu yang singgah. Kerumunan itu kompak mengenakan pakaian tertutup berwarna putih, membawa buku yasin, dan menggenggam amplop kecil. Sayangnya, mereka bukan pelanggan sate, melainkan datang dengan duka dan doa.

Kini, hanya tersisa bapak, Arin, dan Ade di hadapan keranda hijau yang siap dikebumikan. Pekan ini penuh kejutan. Rupanya Tuhan mendukung niat baik Arul menyiapkan hadiah untuk bapak. Baru saja merasakan bahagia luar biasa selama hidupnya, namun Sang Pencipta menggariskan kisah lain mengisi hatinya dengan pilu yang membiru. Belum sembuh sempurna dari rasa hampa tanpa Ambu, bapak dan kedua anaknya kehilangan lagi orang tersayang. Bapak tak lepas memanjatkan doa baik untuk mereka. Kini, hanya tersisa bapak, Arin, dan Ade yang akan selalu berjuang di bawah tenda biru dari Arul.

Comments

Popular Posts